Telaga Merdada Dieng
Sebuah peninggalan penuh legenda dari Dataran Tinggi Dieng. Terletak 4
kilometer dari Dieng, Telaga Merdada dahulu merupakan kepundan (kawah
gunung berapi) yang kemudian terisi air. Luas telaga ini diperkirakan 20
ha dengan kedalaman 25 meter.
Legenda
Berdasarkan kisah yang berkembang di penduduk setempat, kata Merdada
diambil dari nama bagian bawah cupu manik Astagina, Madirda.
Adalah seorang resi yang sakti mandraguna bernama Resi
Gautama. Dia mempunyai 2 orang putra kembar, Guwarso & Guwarsi,
serta seorang putri berparas jelita bernama Dewi Anjani. Pada suatu
hari, dua orang putra kembarnya berburu di hutan. Setelah lama berburu
di tengah lebatnya rimba belantara, akhirnya mereka berhasil mendapatkan
seekor rusa. Dengan hati penuh kegembiraan mereka membawa pulang hasil
buruan tersebut untuk diberikan kepada adik mereka. Mereka berharap
adiknya akan senang menerima rusa itu.
Jauh
dari perkiraan Guwarso dan Guwarsi, Dewi Anjani tampak kurang tertarik
dengan rusa yang mereka bawa. Adiknya justru memilih mengurung diri di
kamar daripada bermain-main dengan rusa. Hal yang sangat aneh mengingat
Dewi Anjani sangat senang pada rusa. Didorong rasa penasaran terhadap
sikap adiknya yang lain dari biasanya, si kembar mengendap-endap
mengikuti Dewi Anjani ke kamarnya. Secara diam-diam mereka mengamati apa
yang dilakukan adiknya tersebut.
Di dalam
kamar Dewi Anjani mengeluarkan sebuah benda yang dibungkus kain putih
dan memendarkan cahaya keemasan. Dewi Anjani memperhatikan benda
berpendar yang tak lain adalah sebuah cupu, cupu manik Astagina. Konon,
apabila bagian bawah cupu ini dibuka maka akan terlihat terlihat segala
isi dunia. Sedangkan apabila tutupnya yang dibuka, akan terlihat segala
sesuatu yang terjadi di Sorga Loka.
Sebenarnya, yang berhak menerima cupu ini sebagai harta warisan adalah
salah seorang dari putra kembar itu. Mengetahui hal tersebut, maka dua
saudara kembar tersebut berusaha untuk merebutnya dari Dewi Anjani.
Perebutan antara si Kembar dan Dewi Anjani akhirnya diketahui oleh ayah
mereka.
Resi Gautama memanggil isterinya dan
menanyakan asal dari cupu manik itu. Istrinya tidak menjawab. Dia
merahasiakan asal muasal cupu yang sebenarnya merupakan pemberian
seorang dewa yang jatuh cinta kepadanya. Dia teringat pada pesan Dewa
yang menyuruhnya merahasiakan asal cupu manik.
Kesal dengan sikap istrinya yang seolah menyembunyikan sesuatu, Resi
Gautama murka dan mengutuk istrinya menjadi tugu batu. Kemudian cupu itu
dilemparkan ke udara. Cupu bagian bawah (Madirda) jatuh ke bumi dan
muncullah Telaga Merdada. Sementara bagian tutupnya yang bernama Dlingo
jatuh di atas Kawah Candradimuka dan membentuk sebuah telaga yang hingga
sekarang dikenal dengan nama Telaga Dlingo. Arca batu yang merupakan
jelmaan dari istri sang Prabu turut dilempar dan terjatuh di tepi telaga
Merdada.
Dikisahkan pula, Raden Guwarso dan
Guwarsi dalam perjalanannya mencari cupu manik Astagina, akhirnya sampai
di tepi Telaga Merdada. Pendar keemasan yang terpancar dari dalam
Telaga Merdada memancing kesimpulan dalam benak mereka bahwa cupu
tersebut jatuh ke dalam Telaga. Maka, tanpa berpikir panjang mereka
langsung terjun ke telaga.
Berjam-jam di dasar
Telaga, namun tetap nihil. Cupu tersebut tidak ditemukan di dasar
Telaga. Setelah lelah, keluarlah dua saudara kembar tersebut dari dalam
Telaga. Sekeluarnya mereka dari dalam Telaga, terkejutlah mereka ketika
melihat wajahnya yang berubah menjadi kera. Peristiwa serupa juga
dialami oleh Dewi Anjani, wajahnya yang cantik jelita berubah menjadi
kera.
Peristiwa yang dialami oleh dua saudara
kembar serta Dewi Anjani diyakini sebagai akibat dari kenakalan serta
kerakusan mereka. Hingga saat ini, hal tersebut menjadi sebuah pesan
moral yang terpelihara secara turun temurun di Desa Karangtengah. Bila
kita berkesempatan berjalan-jalan di sekitar Desa Karangtengah, tidak
jarang kita temui orang tua yang meneriakkan kata ‘dadi kethek’ sebagai
sebuah peringatan kepada anak-anaknya agar tidak nakal dan tetap patuh
pada nilai-nilai luhur. Kethek atau dalam bahasa Indonesia berarti Kera,
merupakan lambang keburukan yang patut dihindari.
Sementara itu, cupu manic Astagina yang telah berubah
menjadi Telaga, hingga sekarang masih memancarkan pendar keemasan dalam
waktu-waktu tertentu. Konon, apabila seseorang duduk di tepi Telaga,
akan dipermudah segala urusannya serta mendapat pencerahan.
Arca Dewi

Arca Dewi yang dalam legenda merupakan jelmaan istri Resi
Gautama, hingga sekarang masih berdiri kokoh di tepi telaga Merdada,
tepatnya di atas bukit sebelah timur Telaga Merdada. Arca batu tersebut
seakan melambangkan seorang istri yang tidak patuh kepada suaminya. Bila
kita ingin menyaksikan bagaimana rupa sang Ratu, kita harus menaiki
bukit dengan lintasan yang cukup sulit. Namun, kesulitan tersebut akan
terbayarkan ketika kita sampai di atas. Dari sisi tenggara Arca, kita
dapat menyaksikan batu berbentuk kepala dengan mahkotanya. Benar-benar
terlihat sebagai jelmaan seorang Ratu. Tak hanya itu, dari puncak bukit
kita dapat menyaksikan pesona Telaga Merdada yang berbentuk cekungan
dengan bukit hijau di sekitarnya. Panorama yang sangat indah dengan
terpaan angin sejuk yang menentramkan. Bila kita haus atau merasa lelah,
kita dapat memetik carica langsung dari ladang di sisi bawah Arca Dewi.
Kesegaran rasa asam carica dapat menghilangkan haus sekaligus menjadi
suplai energy untuk dapat menikmati berbagai keindahan di setiap sudut
telaga Merdada.
Batu Tumpeng
Tidak jauh dari
Arca Dewi, batu tumpeng terletak di atas bukit sisi timur Telaga
Merdada. Batu ini merupakan pemisah antara Telaga Merdada dan bukit
Sitalang. Disebut batu tumpeng karena bentuk batu ini menyerupai nasi
tumpeng yang biasa disajikan dalam berbagai perayaan.
Gua Mushola
Sebagai sebuah fenomena bentukan alam, gua ini memiliki
ketinggian 500m dari bibir Telaga Merdada. Dinamai gua Mushola karena
gua ini sering menjadi tempat para wisatawan menunaikan ibadah salat
ketika mereka mendaki puncak Arca Dewi. Gua Mushola termasuk dalam
jajaran gua tertinggi di Dieng dengan mulut gua menghadap langsung ke
Telaga Merdada. Sisi muka gua yang berbentuk lapang dengan naungan pohon
hijau membuat tempat ini layak sebagai tempat istirahat sebelum
melanjutkan perjalanan hingga ke pucak Arca Dewi.
Pesanggrahan
Pesanggrahan atau yang sekarang lebih terlihat sebagai
gardu pandang, terletak di sebelah utara lapangan parkir. Sebelum
disulap menjadi gardu pandang, tempat ini pernah disinggahi Raden
Suwiryo (Adipati Kolopaking) yang merupakan Adipati Banjarnegara untuk
mencoba kesaktiannya (nguji kanuragan). Pada saat itu beliau menjajal
kesaktiannya dengan mengambil air dari Telaga Merdada menggunakan
keranjang tanpa ada setetes air yang tumpah. Sejak saat itu, tempat ini
disebut sebagai pesanggrahan yang artinya ‘disinggahi’. Dan hingga saat
ini pula, tempat ini sering digunakan sebagai tempat para petinggi atau
pemimpin daerah untuk singgah dan beristirahat.
Makam Raden Mangkuyuda dan Natayuda
Dieng
Desa
karang tengah merupakan desa di kawasan dataran tinggi dieng. Beragam
potensi wisata dan pertanian dimiliki oleh desa ini. Selain panorama
alamnya yang sangat menawan, Desa karang tengah memiliki warisan
kultural yang tidak ternilai harganya. Warisan ini berupa makam.
Masyarakat sekitar akrab dengan istilah
punden atau pepunden untuk menyebut makam ini.
Dalam
kompleks pemakaman ini hanya terdapat dua makam. Masyarakat meyakini
bahwa tokoh yang dimakamkan adalah Raden Mangkuyuda dan Raden Natayuda.
Sebenarnya masyarakat tidak mengenal secara personal terhadap kedua
tokoh tersebut. Hal ini disebabkan oleh terlalu jauhnya masa ketika
tokoh itu hidup dengan masa sekarang ini. Masyarakat meyakini tokoh ini
sebagai tokoh yang melakukan babad alas di kawasan dieng dan
mengembangkan potensi pertanian di kawasan dieng. Untuk itu, sangat
penting mengenal figur Raden Mangkuyuda dan Raden Natayuda yang berjasa
di masa lalu di kawasan dieng.
Dalam waktu dekat ini
masih dilakukan penelitian secara historis oleh beberapa mahasiswa
jurusan sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) terhadap tokoh Raden
Mangkuyuda dan Raden Natayuda. Upaya tersebut dilakukan untuk mengetahui
lebih dalam siapa tokoh ini sebenarnya? Seberapa besar pengaruhnya
terhadap perkembangan kawasan dieng? Seperti apa perjalanan hidupnya?
Terdapat salah satu literatur berjudul Asalsilahipun poro
Noto Susunan yang ditulis oleh G.R.AY. Brata Diningrat yang memaparkan
bahwa Raden Mangkuyuda dan Raden Natayuda merupakan keturunan silsilah
dari Tumenggung Mangkurat (putra dari sultan Trenggono). Hal ini menjadi
semacam titik cerah untuk mencari sumber-sumber terkait yang dapat
menjelaskan keberadaan kedua tokoh tersebut. Kemungkinan sumber-sumber
mengenai kedua tokoh tersebut dapat diperoleh dari arsip Kraton
Kasunanan. Dalam literatur ini menjelaskan bahwa Raden Mangkuyuda dan
Raden Natayuda dimakamkan di karang tengah.
Hal yang
menjadikan menarik ialah makam ini masih bertahan pada masa sekarang
ini. Masyarakat sekitar terutama masyarakat desa karang tengah memiliki
peran penting menjaga kelestarian makam ini. Apabila dinilai dari
undang-undang yang terkait dengan situs bersejarah, seharusnya makam ini
sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk turut serta melestarikan
makam ini sebagai situs sejarah. Layaknya situs sejarah lainnya seperti
candi-candi peninggalan zaman hindu-budha.
Hal menarik
lainnya, masyarakat sekitar merasa dekat dengan kedua tokoh ini.
sebagian masyarakat bertemu dengan tokoh ini melalui mimpi. Tokoh ini
selalu mengingatkan untuk menjalankan syariat islam dan mengingatkan
untuk tetap di jalan allah. Dari sekitar tahun 50an mulai banyak orang
berziarah ke makam ini sebagai wujud penghormatan terhadap jasa-jasanya
di wilayah dataran tinggi dieng di masa lalu. Setiap bulan syuro, makam
ini selalu didatangi banyak peziarah dari berbagai tempat, terutama
masyarakat dataran tinggi dieng untuk memperingati
khol atau semacam bentuk peringatan kepada kedua tokoh ini. peringatan ini hampir sama dengan budaya jawa lainnya seperti
nyadran.
Intinya tetap mendoakan orang yang sudah meninggal dan
menghormati jasa-jasa orang yang sudah meninggal di masa lalu. Biasanya
peziarah melantunkan bacaan-bacaan Al-fatihah, wirid, surat yasin, dan
bermunajat kepada allah. Masyarakat islam masih sangat menghormati
tradisi ziarah dengan mendoakan orang-orang yang sudah meninggal. Pada
dasarnya budaya ziarah terhadap orang yang sudah meninggal dianjurkan
dalam sunnah rosul.
Dalam memori kolektif masyarakat
desa karang tengah, Sukarno (presiden RI yang pertama) pernah sesekali
berziarah ke makam ini. Selain itu, sebagian besar masyarakat dieng
menempuh pendidikannya di pesantren. Santri-santri ini kecenderungan
masih menjalankan tradisi ziarah. Hal ini menunjukan bahwa tradisi
ziarah masih berlangsung hingga masa sekarang ini.
Makam Raden Mangkuyuda dan Raden Natayuda terletak di tepi jalan batur
yang menghubungkan dieng dengan kecamatan Batur. Makam ini berjarak 2 km
dari kompleks candi arjuna dan dapat ditempuh sekitar 10 menit. Selain
itu, makam ini sangat berdekatan dengan wisata alam telaga merdada yang
terletak di wilayah desa karang tengah. Apabila hendak melintas desa
karang tengah, dari kejauhan tampak terlihat kumpulan pepohonan yang
menjulang sangat tinggi seperti membelah dinginnya langit di dataran
tinggi dieng. Hal ini dikarenakan makam ini dikelilingi pepohonan yang
sangat besar. Banyak terdapat varietas pepohonan di sekitar makam.
Pohon yang tergolong langka yang terletak di area makam
adalah pohon puspa. Belum diketahui secara pasti berapa umur dari pohon
puspa ini. pohon puspa di komplek makam ini tingginya sekitar 25 m. Hal
ini menambah keheningan hati para peziarah ketika berziarah di makam
ini. Di waktu sore tampak kabut yang menyangkut dahan-dahan pohon puspa.
Hal ini menjadi keindahan tersendiri di komplek makam Raden Mangkuyuda
dan Raden Natayuda di saat sore hari.
Panitia
pelestarian makam Raden Mangkuyuda dan Raden mangkuyuda terus melakukan
perbaikan infrastruktur dan mengadakan kegiatan-kegiatan positif seperti
wirid bersama di kompleks makam, membersihkan area makam, dan
melestarikan pohon-pohon langka di sekitar makam.
Adapun tujuan jangka panjangnya, kompleks makam Raden Mankuyuda dan
Raden Natayuda menjadi tujuan wisata ziarah bagi peziarah-peziarah dari
berbagai kota, seperti halnya makam raja-raja mataram di plered,
makam-makam para walisanga, makam raja-raja demak, makam para kyai di
gunungpring Muntilan, dll. Jadi bukan hanya masyarakat dieng saja yang
berziarah di kompleks makam ini. Untuk itu, di sekitar wisata alam
telaga merdada dan makam Raden Mangkuyuda dan Raden Natayuda sudah
disiapkan beberapa homestay. Masyarakat desa karang tengah pun sudah
memiliki kesiapan sebagai desa wisata.
Sumber dari Desa Karangtengah